Pages

Selasa, 15 Juli 2008

1 Biopori Sebagai Alternatif Pencegah Banjir

Biopori adalah lubang sedalam 80-100cm dengan diameter 10-30 cm, dimaksudkan sebagi lubang resapan untuk menampung air hujan dan meresapkannya kembali ke tanah. Biopori memperbesar daya tampung tanah terhadap air hujan, mengurangi genangan air, yang selanjutnya mengurangi limpahan air hujan turun ke sungai. Dengan demikian, mengurangi juga aliran dan volume air sungai ke tempat yang lebih rendah, seperti Jakarta yang daya tampung airnya sudah sangat minim karena tanahnya dipenuhi bangunan. Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki.

Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan. Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata.

CARA PEMBUATAN

1. Teknologi biopori diawali dengan pembuatan lubang silindris secara vertikal ke dalam tanah dengan diamter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter atau tidak sampai melampaui muka air tanah bila air tanahnya dangkal. Jarak antar lubang antara 50 - 100 cm.

2. Mulut lubang dapat diperkuat dengan semen selebar 2 - 3 cm dengan tebal 2 cm di sekeliling mulut lubang serta diberikan pengaman agar tidak ada anak kecil atau orang yang terperosok.
3. Lubang diisi dengan sampah organik seperti daun, sampah dapur, ranting pohon, sampah makanan dapur non kimia, dsb. Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori. Sampah organik ini tidak akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organic. Sampah dalam lubang akan menyusut akibat proses pelapukan sehingga perlu diisi kembali dan di akhir musim kemarau dapat dikuras sebagai pupuk kompos alami bersamaan dengan pemeliharaan lubang resapan..
4. Jumlah lubang biopori yang ada sebaiknya dihitung berdasarkan besar kecil hujan, laju resapan air dan wilayah yang tidak meresap air dengan rumus = intensitas hujan (mm/jam) x luas bidang kedap air (meter persegi) / laju resapan air perlubang (liter / jam).

KEUNGGULAN DAN MANFAAT BIOPORI.

(1) Meningkatkan daya resapan air. Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air. Suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm 2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3218 cm 2.

(2) Mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan). Lubang resapan biopori "diaktifkan" dengan memberikan sampah organik kedalamnya. Sampah ini akan dijadikan sebagai sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatannya melalui proses dekomposisi. Sampah organik yang dimasukkan ke dalam lubang akan menjadi humus dan tubuh biota dalam tanah, tidak cepat diemisikan ke atmosfir sebagai gas rumah kaca; berarti mengurangi pemanasan global dan memelihara biodiversitas dalam tanah.

(3) Memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman, dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria. Lubang Resapan Biopori diaktikan oleh organisme tanah, khususnya fauna tanah dan perakaran tanaman. Aktivitas merekalah yang selanjutnya akan menciptakan rongga-rongga atau liang-liang di dalam tanah yang akan dijadikan "saluran" air untuk meresap ke dalam tubuh tanah. Dengan memanfaatkan aktivitas mereka maka rongga-rongga atau liang-liang tersebut akan senantiasa terpelihara dan terjaga keberadaannya sehingga kemampuan peresapannya akan tetap terjaga tanpa campur tangan langsung dari manusia untuk pemeliharaannya. Hal ini tentunya akan sangat menghemat tenaga dan biaya.
Dengan hadirnya lubang-lubang resapan biopori maka genangan air dapat dicegah, sehingga berbagai masalah yang diakibatkannya seperti mewabahnya penyakit malaria, demam berdarah dan kaki gajah (filariasis) akan dapat dihindari.

(4) Meningkatkan kualitas air tanah. Organisme dalam tanah mampu membuat sampah menjadi mineral-mineral yang kemudian dapat larut dalam air. Hasilnya, air tanah menjadi berkualitas karena mengandung mineral.

Secara garis besar ada 15 manfaat biopori yakni meliputi manfaat penampungan sampah organik, menjaga keanekaragaman hayati dalam tanah, mendukung penghijauan, serta mengurangi emisi gas rumah kaca akibat pelapukan bahan organik. Kemudian dari aspek sanitasi, untuk menjaga kebersihan akibat daun yang dipangkas atau berguguran, mencegah polusi udara, berfungsi meresapkan air lebih optimal. Jika biopori tersebut dilakukan secara masif oleh masyarakat, lubang resapan biopori juga akan mampu mencegah banjir dan genangan air. Manfaat lain biopori adalah meningkatkan cadangan air dalam tanah, mencegah keamblasan tanah, menghambat intrusi air laut, dan mengurangi pencemaran air

Teknologi biopori ini adalah salah satu alternatif yang sangat baik untuk mencegah banjir dan permasalahan sampah yang selama ini menjadi momok sebagian masyarakat dengan metode yang sangat sederhana, murah, dan ramah lingkungan .

Minggu, 13 Juli 2008

0 GW dan Tenggelamnya Pulau-pulau

Berbagai pihak telah memublikasikan temuannya terkait meningkatnya suhu Bumi yang menyebabkan meningkatnya tingi muka laut. Data yang dilansir PBB dalam website resmi perubahan iklim menyatakan bahwa selama abad 20, peningkatan suhu global mencapai 0,74°C. Jika konsentrasi karbon dioksida tetap pada angka 550 ppm (parts per million) maka peningkatan suhu bisa mencapai 2 - 4,5°C, dengan perkiraan terbaik sebesar 3°C. Dengan kata lain, jika penurunan emisi karbon dioksida tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh maka peningkatan suhu yang drastis tidak bisa dihindarkan.

Fenomena lain yang teramati sebagai dampak pemanasan global adalah mencairnya es di kutub. Telah terbukti bahwa tutupan es di Antartika (Kutub Selatan) dan Greenland (Kutub Utara) berkurang massanya akibat pelelehan. Hal ini meningkatkan tinggi muka laut yang mencapai 17 cm selama abad 20. Dengan kondisi yang ada sekarang, dapat diperkirakan bahwa peningkatan tinggi muka laut di akhir abad ke-21 dapat mencapai angka 28-58 cm.

Salah satu akibat meningkatnya tinggi muka laut adalah tenggelamnya pulau-pulau kecil atau dataran rendah. Kawasan di Kepulauan Pasifik adalah yang selama ini diduga akan terkena dampak GW paling awal. Kiribati, misalnya, adalah salah satu negara kecil di kawasan Pasifik yang merasakan kekhawatiran tersebut. Presidennya, Anote Tong, mengungkapkan dalam Forum Tahunan Pacific Selatan di Fiji (2006) bahwa dengan tenggelamnya pulau-pulau dalam kurun waktu sepuluh tahun ke depan, merea harus segera mencari tempat untuk mengungsi.

Negara di kawasan Pasifik yang juga rawan kena dampak GW adalah Vanuatu, Marshall Islands, Tuvalu, dan sebagian Papua Nugini. Satu desa di Pulau Tegua, Vanuatu, misalnya, dipaksa untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi akibat banjir karena meningkatnya tinggi gelombang laut. Sebagai konsekuensi terjadinya pengungsian, Australia dan Selandia Baru diperkirakan akan menjadi tujuan pengungsi utama mengingat lokasinya paling dekat dengan negara-negara kecil di kawasan Pasifik.

Sementara itu, di Indonesia berkembang berita yang lebih dramatis. Indonesia diperkirakan akan kehilangan 2.000 pulau pada tahun 2030 akibat GW. Kabar ini sesungguhnya tidak bisa dipercaya begiu saja karena beredar lewat media informal dan tidak dikeluarkan oleh institusi resmi. Meski demikian, salah satu pernyatan formal diungkapkan oleh Kepala BMG Yogyakarta, Jaya Murjaya dalam Seminar Nasional Geografi di Universitas Negeri Yogyakarta bulan Mei 2007. Ketika dikonfirmasi secara personal, Murjaya mengungkapkan bahwa pernyataan itu juga dikutip dari berbagai sumber. Dengan kata lain, ini bukan hasil kajian Murjaya maupun BMG. Murjaya juga mengungkapkan prediksi peningkatan tinggi muka laut dapat mencapai 29 cm tahun 2030. Idealnya, kesimpulan tenggelamnya pulau ini harus didukung data yang menyatakan bahwa terdapat 2.000 pulau di Indonesia yang berketinggian kurang dari 29 cm di atas permukaan laut saat pasang tertinggi. Pernyataan ini tentunya memerlukan penelitian dan diskusi lebih lanjut.